DARA VCO : 100 ml (@ Rp. 20.000,00) 200 ml (@ Rp 40.000,00) Tanpa Pemanasan, Tanpa Bahan Kimia, Tanpa Bahan Fermentasi

Wednesday, August 8, 2012

VCO Penumpas Kanker Kista

Kenangan pahit di bulan Ramadhan 2004 tak akan terhapus dari ingatan Suprobowati Suratman. Ia baru saja hendak menyuapkan nasi ke mulut ketika tiba-tiba perut di sekitar pinggang sakit luar biasa. Gangguan itu diikuti muntah-muntah sehingga ia menghentikan makan sahur. Frekuensi gangguan itu semakin meningkat, sepekan beberapa kali terjadi. Kadang disertai dada berdebar-debar.

Klimaks keluhan itu terjadi pada penghujung 2004. Di malam pekat itu Suprobowati kembali merasakan sakit perut hebat disertai pendarahan. Ketika orang-orang dibuai mimpi dalam nyenyak tidur, Joko Sulistyo, sang suami, membawa Suprobowati ke Rumah Sakit Salak Kotamadya Bogor. Tiga dokter spesialis—kandungan, penyakit dalam, dan bedah—memeriksa kesehatan perempuan 46 tahun itu dengan saksama.

Hasil pemeriksaan dokter sungguh mengejutkan keluarga Joko Sulistyo: Suprobowati mengidap kanker kista stadium 4. Bahkan terjadi pelekatan kista ke usus dan gangguan sistem pencernaan. CA 125, sel asal kanker, mencapai 153. Padahal normalnya maksimal 35. Mendengar kabar itu air mata menggenangi pelupuk mata perempuan kelahiran Semarang 19 November 1959. “Saya merasa esok adalah hari terakhir bagi saya,” katanya.

Itu yang menyebabkan ia ingin selalu dekat dengan ke-3 anak dan suami terkasih. Andai maut menjemput, mereka ada di sampingnya. Dua puluh hari ia lalui di rumah sakit itu. Sayang, tak ada kemajuan berarti yang dicapai. Oleh karena itu ia dipindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Membaca rekam medis dari RS Salak, tim dokter RSCM memutuskan untuk mengoperasi. Joko Sulistyo telah meneken borang atau formulir persetujuan operasi.

Dua hari setelah dirawat, Suprobowati dibawa ke kamar operasi. Ia melihat beberapa dokter yang telah siap mengoperasi dirinya. Mereka mengenakan pakaian khusus dilengkapi dengan masker. Pisau bedah tak luput dari pandangannya. Tekanan psikologis mahaberat ia rasakan saat itu. “Saya takut operasi,” katanya. Ketakutan itu meyebabkan Suprobowati pingsan. Operasi hari itu pun urung. Joko membawa istrinya pulang ke rumah di Ciomas, Kotamadya Bogor.

Membesar

Kista merupakan rongga tertutup berisi cairan encer, kental, atau setengah padat yang dilapisi epitel. Sebetulnya kista adalah kelainan yang dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, terutama di organ reproduksi seperti indung telur, leher rahim, dan rahim. Menurut dr Sidi Aritjahja herbalis di Yogyakarta, kista adalah tumor kelenjar sehingga namanya tergantung letak kelenjar. Misalnya bila ada di ovarium disebut kista ovarium; di ketiak, kista axial; di payudara, kista mame.

Dr Tagor Sidabutar, SpOG dari Rumah Sakit PGI Cikini, menuturkan kista di kandungan berasal dari indung telur. Kista ovarium membahayakan karena menyerang dan mendesak sel telur. Pada kasus Suprobowati tempat kista adalah indung telur. Kista menekan indung telur sehingga nyeri. Lalu timbul perlengketan dan pergesekan di usus dan menimbulkan nyeri. ”Bila kista mendesak ke usus mengakibatkan sulit buang air besar. Mendesak ke kantong kemih mengakibatkan sulit buang air,” ujar Sidabutar.

Berdasar tingkat keganasan, kista dibedakan menjadi 2 jenis, nonneoplasia dan neoplasia. Nonneoplasia adalah kista yang tak tumbuh terus-menerus, sifatnya jinak, biasanya kempes sendiri dalam 2—3bulan. Dengan pemberian antibiotik, nonneoplasia bisa sembuh. Contoh, sel sperma yang hanya membuahi inti sel telur, sedangkan sitoplasma atau cangkang telur yang ditinggalkan membentuk kista. Kista neoplasia adalah kista yang tumbuh terus-menerus. Bisa jinak atau ganas. Ada kista yang nyeri saat haid disebut kista endometriosis.

Sampai kini penyebab kista belum diketahui. ”Menurut penelitian, dugaan sementara karena faktor genetik. Bila orangtuanya ada kista atau tumor, kemungkinan ia terserang kista,” kata alumnus University of Paris. Makanan yang banyak mengandung hormon dan kolesterol—makanan cepat saji kaya hormon estrogen—memicu kista endometriosis. Itulah kebiasaan Suprobowati ketika menemani sang suami yang menempuh studi master dan doktoral di Jepang. Hampir setiap hari ia mengkonsumsi makanan cepat saji yang dianggapnya praktis.

Begitu pula kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung radikal bebas. Dampaknya menurunkan antioksidan dalam tubuh sehingga imunitas berkurang. Sidi Aritjahya menyarankan penderita kista untuk menghindari makanan yang dibakar dan diberi alas logam. Semua makanan itu mengandung zat karsinogen alias pemicu kanker. Makanan yang diragikan atau jamur sebaiknya dipantang karena merangsang neufas polarisasi / pembuluh darah.

Selain itu pola hidup juga memicu kista. Contoh merokok yang menyebabkan perubahan genetik dalam sel. Menurut dr Sidi Aritjahya, kista terjadi karena sumbatan dan peradangan. Akibat sumbatan kolesterol pada saluran tertentu, sel-sel tumor tumbuh di tempat itu. Jika karena peradangan pada sel kelenjar terjadi sekresi berlebih. Sayangnya, gejala tidak tampak pada fisik seseorang. Oleh karena itu kista kerap ditemukan secara kebetulan lewat pemeriksaan ultrasonografi .

Prevalensi di Indonesia termasuk besar. Rumah Sakit Happyland Medical Center di Yogyakarta sejak 1994—2004 menerima 20.000 pasien, 7.000 di antaranya (30%) pasien tumor dan kanker. Mekanisme pengobatan kista yang selama ini dilakukan dengan membangkitkan antitumor agar lebih dominan. ”Jadi harus dilihat dulu sel asal kankernya. Misalnya jenis adeno berarti sel kanker berasal dari kelenjar, maka harus dicarikan antitumor untuk jenis kelenjar,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu.

Luka ginjal

Karena tak memungkinkan untuk operasi, Suprobowati memilih pengobatan herbal sebagai jalan penyembuhan. Sarjana Biologi alumnus Universitas Jenderal Soedirman itu dirawat di sebuah klinik herbal. Sayang, kesembuhan yang diharapkan seperti menjauh. Biaya yang relatif mahal, mencapai Rp10- juta, juga menjadi bahan pertimbangan sehingga Ati—demikian sapaannya—menghentikan pengobatan di sana.

Harapan sembuh kembali disemaikan. Kali ini ia memadukan pengobatan herbal, fisioterapi, dan akupunktur. Atas saran kerabat, ia juga mengkonsumsi ramuan asal Cina berupa serbuk. Bahan dan kandungan ramuan yang dibeli bebas di sebuah toko di Bekasi, Jawa Barat, itu tak diketahui. Ia hanya patuh memenuhi saran kerabat agar cepat sembuh. Namun, setelah rutin mengkonsumsinya bukan kesembuhan yang digapai, justru petaka yang didapat.

Ginjalnya luka lantaran terjadi endapan di organ itu. Kencing tampak kemerahan. Itu akibat ia tak memenuhi saran herbalis agar konsumsi ramuan cina disertai minum 2 liter per hari. Sedangkan ia cuma sanggup menghabiskan 4—5 gelas. Dampak buruk lain, rambut rontok. Hanya disisir dengan jari, puluhan rambut terlepas dari kepala. Kulitnya tampak menghitam dan kusam.

Ia menghabiskan waktu di atas pembaringan. Sebab, ketika kaki menapak untuk berjalan, sakitnya sampai ke ubun-ubun. Perutnya juga terasa nyeri. Jika hendak ke kamar mandi, misalnya, suaminya yang menggendong. Suprobowati menanggung penderitaan mahaberat sehingga kerap putus asa. “Sudahlah saya tak perlu dibawa ke mana-mana lagi. Biarkan saja meninggal di rumah,” katanya suatu hari.

Normal

Harapan sembuh kembali muncul ketika Joko Sulistyo teringat banyak penderita penyakit maut yang sembuh setelah mengkonsumsi virgin coconut oil (VCO). Selain sebagai peneliti LIPI, alumnus University of Tsukuba Jepang itu juga memproduksi VCO. Puluhan pelanggannya merasakan faedah minyak kelapa murni bikinannya. Joko segera menganjurkan Suprobowati untuk minum VCO.

Sejak Februari 2005, Suprobowati hanya mengkonsumsi minyak perawan itu. Obat-obatan dari dokter dihentikan konsumsinya. Dosis 2 sendok makan sekali minum sebelum makan. Frekuensinya 3 kali sehari. Sebulan kemudian bobot tubuhnya yang semula 40 kg, naik menjadi 42 kg. Pada awal Oktober 2005, ia ke laboratorium untuk mengecek kesehatannya.

Hasilnya, CA 125 alias sel asal kanker turun dari 153 menjadi 23,9 alias normal. Dua bulan berselang pada 1 Desember 2005 ukuran kista yang semula 12 cm x 10 cm x 8 cm tampak mengecil, menjadi 9 cm x 7 cm x 6 cm. Pengecilan ukuran itu tampak secara kasat mata. Perutnya yang semula membuncit seperti hamil 7 bulan, sekarang mengempes. Hingga sekarang Suprobowati terus melanjutkan konsumsi VCO.

Dengan normalnya CA 125 dan mengecilnya kista, Suprobowati kini dapat melakukan aktivitas seperti sedia kala. Ketika ditemui Trubus untuk wawancara, ia tampak bugar. Menurut dr Sidi Aritjahya peran VCO terhadap mengecilnya kista dan menormalkan CA 125 terjadi secara tidak langsung. “VCO baiknya hanya untuk suplemen karena membantu menambah asam laurat ke dalam tubuh sehingga meningkatkan daya tahan tubuh. Dengan daya tahan tubuh yang baik antibodi jadi makin baik,” kata Ari—sapaannya.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Dr Muhammad Ahkam Subroto, peneliti VCO dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI. Doktor Bioteknologi alumnus University of New South Wales itu mengatakan, enzim yang dikandung VCO membantu sistem pencernaan. Dampaknya produksi hormonal lebih baik sehingga kekebalan tubuh meningkat dan membantu proses penyembuhan.

Dengan demikian pertumbuhan sel kanker dapat dihambat. Ahkam menuturkan, hasil riset VCO terbukti tak mempunyai LD (lethal dosage) 50 yang bersifat racun atau sitotoksik. Artinya, VCO tak mungkin membunuh sel kanker, ia hanya meningkatkan kekebalan tubuh. Peran meningkatkan kekebalan tubuh diemban dengan baik oleh MCT alias Medium Chain Triglyceride dalam VCO. Yang termasuk di dalamnya adalah asam kaproat, kaprilat, kaprat, dan laurat.

Riset Wan & Grimble menunjukkan, VCO meningkatkan respon sistem kekebalan tubuh sekaligus untuk memusnahkan racun. Monolaurin dalam VCO juga mampu mengatasi racun dalam bentuk asam glutamat. Minyak kelapa murni tak hanya mengatasi sel kanker, tetapi juga ampuh mencegahnya. Menurut riset Lim-Sybianco pada 1987, konsumsi VCO berefek antikarsinogenik. Medium Chain Fatty Acid (MCFA) dalam VCO membantu tubuh mengenyahkan mikroorganisme patogen.

Tugas itu semula diemban oleh sel darah putih. Dengan pengambilalihan tugas itu, sel darah putih lebih terfokus pada tugas baru: mengatasi sel kanker. Itu diperkuat dengan uji praklinis yang ditempuh Dr Robert L Wick Remasinghe, kepala Divisi Serologi di Sri Lanka. VCO menghambat induksi sel kanker.

Sumber: Majalah Trubus Desember 2005 – Sardi Duryatmo/Peliput: Hanni Sofi a, Laksita Wijayanti, & Lastioro Anmi Tambunan

Dokter Bicara VCO (Obat Alami untuk Stroke, TBC, Kejang, Diabetes, Obesitas, Prostat, Hepatitis)

Stroke itu menghampiri Kanisius Nusa ketika bangun tidur. Hari itu, pertengahan Juni 2000, mestinya ia berangkat kerja ke sebuah peternakan ayam di Sabah, Malaysia. Jangankan mengayuh sepeda ke tempat ia mendulang ringgit, menggerakkan tangan dan kaki sebelah kiri pun amat sulit baginya. Hari sebelumnya ia memang terjatuh dari kereta angin saat hendak bekerja. Namun, ia sama sekali tak menyangka dampaknya sehebat itu: bagian tubuh kiri lumpuh.

Teman-temannya membawa Kanisius ke rumahsakit. Hasil diagnosis dokter di negeri jiran itu menunjukkan, anak ke-2 dari 5 bersaudara terserang stroke. Mulailah kelahiran Maumere, Nusa Tenggara Timur, 28 Mei 1970 itu melewati hari demi hari di atas pembaringan. Ringgit hasil kerja kerasnya di negeri orang itu terkuras untuk biaya pengobatan. Sayangnya, kesembuhan yang diharapkan sulit direngkuh.

Itulah sebabnya teman-temannya membawa Kanisius pulang ke Desa Nangameting, Kecamatan Alok, Maumere. Di kampung halaman, ia kembali menjalani berbagai pengobatan. Hasilnya, sama saja, bahkan kondisinya kian parah. Ia sulit berkomunikasi secara verbal.

Siang dan malam baginya sama saja: berbaring di ruang lembap dan bau. Pertengahan 2005, Petrus Swarnam, sahabatnya berkunjung. Mereka saling kenal ketika bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Petrus kaget melihat sosok sahabatnya. Kulit tipis Kanisius membalut belulang. Bobotnya cuma tersisa 40 kg dari sebelumnya 55 kg. Tak lama berselang Petrus mengunjungi keluarganya di Pulau Jawa. Di sanalah ia mendengar informasi soal minyak kelapa murni yang populer sebagai virgin coconut oil (VCO). Kembali ke Maumere, Petrus membawa 5 botol VCO masing-masing 90 ml.

VCO itulah yang diminum Kanisius 3 kali sehari masing-masing 1 sendok makan. Pada pekan ke-4 kegembiraannya membuncah: tangannya dapat digerakkan. Itu bagai sebuah keajaiban. Harapan kesembuhan kini disandarkan pada VCO. Ia rutin minum minyak hasil perasan Cocos nucifera. Persis pada 17 Agustus 2005 ia melepas kursi roda lantaran kaki dan tangannya berfungsi normal. Ketika dihubungi Trubus pada penghujung Maret 2006, pria 35 tahun itu lancar berkomunikasi.

Diresepkan

Pasien yang sembuh setelah mengkonsumsi VCO kini kian mudah dijumpai. Itu bukan hanya monopoli masyarakat nonmedis. Sebab, banyak dokter yang meresepkan VCO -yang notabene termasuk herbal -bagi para pasiennya. Tengoklah Rumah Sakit Jakarta di jantung kota metropolitan. Di sana dr Satya Hanura SpS memberikan tambahan VCO bagi pasien-pasien stroke. Obat-obatan medis antistroke tetap diberikan. “VCO sifatnya komplementer, ” ujar dokter spesialis saraf alumnus Universitas Indonesia.

Dalam 2 -3 bulan kadar Low Density Lippoprotein (LDL) pasien turun signifikan menjadi rata-rata 110 mg/dl; sebelumnya 200 mg/dl. “Dengan penurunan kadar LDL darah, sangat mengurangi kekambuhan stroke, ” katanya. Menurut Hanura VCO sebagai sumber energi. Maklum, pasien stroke umumnya mengalami gangguan menelan dan sulit makan akibat larangan konsumsi garam, makanan pedas, dan lemak. “Nafsu makannya berkurang. VCO memberi kebutuhan energi tubuh. ” Sejak November 2005 -awal Maret 2006 Hanura telah memberikan VCO kepada 10 pasien stroke.

Menurut dr H Hardhi Pranata SpS, neurologis RS Gatot Soebroto Jakarta, stroke antara lain dipicu oleh pengerasan pembuluh darah. Pengerasan itu dapat dicegah oleh hormon progesteron pada pria dan estrogen (wanita). Itulah sebabnya pada kaum perempuan, stroke umumnya menyerang wanita menopause lantaran kecilnya kadar estrogen. “VCO kaitannya dengan hormon adalah meningkatkan kadar pregnenolone (bahan progesterone dan estrogen, red). Pregnenolone itu punya efek antioksidan, antipenuaan. Itu yang menyebabkan VCO punya efek antiheterogenik, di samping membunuh kuman penyebab penyumbatan pembuluh darah, ia juga mengaktifasi hormon yang meningkatkan metabolisme tubuh menjadi lebih baik, ” ujar ahli saraf itu.

Pemicu stroke lainnya adalah tingginya kolesterol sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah. Dampaknya pembuluh darah di otak lebih kecil. Untuk mengatasi tingginya kolesterol, dr Imam Rusdi SpS dari RS Sardjito Yogyakarta menyarankan pasien untuk mengkonsumsi VCO. “Pertimbangan saya, VCO lebih murah daripada obat penurun kolestrol konvensional, ” ujar dokter spesialis saraf alumnus Universitas Gadjah Mada. Harga salah satu obat penurun kolesterol, Fibrat dan Statin, mencapai Rp16.000 untuk sekali konsumsi.

Tentu saja, VCO bukan cuma murah, tapi juga tokcer menurunkan kadar kolesterol. Itu dibuktikan oleh dr Probosuseno SpPD dari RS Sardjito Yogyakarta terhadap 10 pasien berkadar kolesterol tinggi. Pada riset itu kelahiran Sukoharjo itu menghentikan pemberian obat antikolesterol. Dua pekan setelah konsumsi VCO -dosis 3 kali sendok makan per hari -kadar kolesterol mereka kembali diukur.

Hasilnya, kadar kolesterol mereka turun. Sayang, dokter spesialis penyakit dalam itu menolak membeberkan persentase turunnya kolesterol lantaran saat ini tengah meneliti ulang pada 30 pasien untuk memperoleh hasil lebih objektif. “Lemak dalam VCO bisa dipakai secara cepat. VCO asam lemak jenuh rantai sedang sehingga tak perlu mengikuti jalur yang lazim seperti mentega. VCO langsung diserap tubuh, ” ujar dokter yang bercita-cita semua penyakit dapat diatasi dengan obat asli Indonesia itu.

Lumpuh

Selain kepada pasien stroke, dr Satya Hanura SpS juga memberikan minyak kelapa murni bagi penderita tuberkulosis (TBC) tulang. Pasien itu -sebut saja Anita -sekaligus mengalami gangguan fungsi lever sehingga obat-obatan anti-TBC seperti Ethambutol HCl dan Pyrazinamide tidak diberikan. Obat itu mengganggu fungsi lever sehingga menyebabkan peningkatan enzim lever beberapa kali lipat. Padahal, lever berperan penting dalam menetralisir racun.

Ketika ditangani, kondisi Anita amat mengenaskan. Ia lumpuh, tubuh kurus, bobotnya cuma 45 kg. Hanura memberikan obat medis Rifampicin dan INH plus VCO. “Rifampisin juga sebetulnya tak boleh diberikan. Untuk menetralisir diberi tambahan obat hepatoprotektor, ” katanya. VCO dikonsumsi sebelum makan. Dosisnya 3 kali sehari masing-masing 2 sendok makan. Setelah makan barulah ia menelan obat-obatan dokter.

Dua pekan kemudian, ketika kontrol bobot tubuhnya naik 1 kg. Peningkatan bobot tubuh salah satu parameter keberhasilan pengobatan TBC. “Nafsu makan bertambah baik. Sebulan kemudian naik lagi 2 kg, ” ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu. Penambahan VCO memberikan hasil memuaskan. Tiga bulan berselang, Anita dapat berjalan lagi.

Meski pengobatan belum tuntas, hasil itu amat menggembirakan. Menurut Hanura TBC tulang idealnya dipantau selama 9 -12 bulan; pengobatan baru berjalan 5 bulan. Apa peran minyak dara terhadap membaiknya pasien TBC tulang? “VCO meningkatkan daya tahan tubuh, melemahkan bakteri, dan membantu proses penyembuhan,” ujar ayah 2 anak itu.

30 jadi 2 kali

Pemanfaatan VCO kian luas untuk mengatasi beragam penyakit. Dokter Hardhi Pranata meresepkannya untuk pengidap epilepsi, migrain, vertigo, dan sakit kepala. Secara umum, VCO memberikan efek positif bagi para pasien. Pasien epilepsi dari Serang, Provinsi Banten, contohnya. Sebut saja Alamanda, semula kerap kejang, 23 -30 kali sehari. Sel saraf Alamanda mengalami kerusakan setelah menderita campak. Untuk menangani epilepsi, Hardhi tetap memberikan obat antikejang.

Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu juga meresepkan VCO. Dengan tambahan minyak kelapa murni, frekuensi kejang Alamanda turun drastis, 2 -3 kali sebulan. “Kejang-kejang dapat dinetralisir oleh VCO sehingga dapat dijadikan sebagai makanan tambahan yang membantu meningkatkan daya imun pasien, ” kata pria 54 tahun itu. Ahli saraf itu menuturkan, “Ini suatu kasus yang membuka cakrawala baru bagi peneliti VCO. Penggunaan VCO mengurangi kejang-kejang pada penyakit epilepsi.”

Banyak pasien pecandu narkotika dan psikotropika lain di RS Ketergantungan Obat Fatmawati Jakarta Selatan yang mengkonsumsi VCO. Semula seorang pasien melapor kepada dr Yuliani Dahlan yang menanganinya, “Dok, saya dikasih VCO. Saya coba ternyata enak. Boleh ngga diteruskan?” Alumnus Universitas Negeri Sebelas Maret itu mengizinkan konsumsi VCO setelah mempelajari dan mengecek proses pembuatan minyak perawan di sebuah produsen.

Para pecandu narkoba itu mengkonsumsi minyak dara 3 kali sehari masing-masing 1 -2 sendok makan. Konsumsi itu sejam setelah obat-obatan medis. Hasilnya memang menggembirakan. “Efek paling menonjol adalah tubuh pasien lebih sehat, sebelumnya tampak lemas. ” Wajar pecandu narkoba lemas lantaran mereka hidup seenaknya: lupa tidur dan lupa makan, sehingga kesehatan terganggu. Oleh karena itu daya tahan tubuh dan stamina mereka harus diperbaiki. Salah satu caranya dengan konsumsi VCO secara rutin.

Menurut Prof Dr Muchtan Suyatno, ketua Rehabilitasi Narkoba RS Hasan Sadikin Bandung, penyembuhan narkoba bukan tergantung pada suatu jenis obat apa pun. “Jadi penyembuhannya bagaimana ia bisa sadar untuk tidak menggunakan lagi. Kalau dari luar tubuh yang penting asupan makanan agar racun itu keluar dari tubuh. Sebenarnya pakai air putih yang banyak, asal dia bisa kencing lebih banyak, tak masalah,” papar Muchtan. Tentang pemanfaatan VCO, Muchtan mengatakan, “Ya uji klinisnya saja belum ada. Cuma digembar-gemborkan kalau punya efek ini-itu. Itu kan berarti masih belum ada kepastian. ”

Di RS Mardi Rahayu, Kudus, Jawa Tengah, dr Philemon Konoralma, SpPD pun meresepkan VCO. Kelahiran Maluku Tenggara Barat 27 Februari 1944 itu tak serta-merta menyodorkan minyak dara kepada pasien. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin itu lebih dulu meneliti manfaat VCO untuk kesehatan. Kasus yang diamati adalah dirinya sendiri dan ayah mertua yang menderita diabetes mellitus.

Selama ini untuk mengontrol gula darah dokter menyodorkan glibenklamid. Obat itu hanya cocok untuk penderita kencing manis dengan bobot tubuh ideal atau kurus. Dosisnya ½ tablet per hari. . Philemon dan mertuanya -Yosep Dara, kelahiran Maumere 1924 -meminum VCO 3 kali sehari masing-masing 1 sendok makan berbarengan dengan waktu makan. Glibenklamid dihentikan sama sekali.

Hasil pemeriksaan gula darah Yosep Dara menunjukkan, pada 24 September 2005 (137 mg/dl), 25 September 2005 (178 mg/dl), 28 September 2005 (199 mg/dl), 2 Oktober 2005 (159 mg/dl). Gula darah terus terkontrol pada angka 97 mg/dl, 200 mg/dl, 134 mg/dl, 105 mg/dl, 119 mg/dl, 135 mg/dl. Gula darah terkontrol pun dialami oleh Philemon. Dari hasil itu Philemon berkesimpulan, VCO dapat mengontrol gula darah. Setelah penggemar anggrek itu yakin akan khasiat VCO, barulah ia meresepkannya kepada para pasien.

Pasien memuaskan

Salah satu pasien dr Philemon adalah Komariah. Ia menderita kencing manis lebih dari 10 tahun dengan berbagai keluhan seperti pegal-linu, sakit kepala, konstipasi alias sulit buang air besar, dan sakit ulu hati. Pada 10 November 2005 gula darah mencapai 185 mg/dl. Biasanya untuk mengobati sakit kepala dan pegal-linu, Komariah minum obat penghilang nyeri 3 kali sehari. Namun, sejak minum VCO, sakit kepala hilang.

Gula darahnya berangsur-angsur turun menjadi 98 mg/dl pada 17 November 2005, 112 mg/dl (22 November 2005), dan 117 mg/dl (3 Februari 2006). Begitu pun tekanan darahnya terus membaik. Bahkan, sakit ulu hati, dan konstipasi hilang. “Itu yang saya lihat bahwa VCO memang menjanjikan sebagai bentuk terapi, ” kata Philemon. Memang ada beberapa pasien yang kadar gulanya tidak turun. “Yang mempengaruhi gula darah tinggi sangat banyak, misalnya diet tidak ketat, kurang olahraga. Terutama untuk pasien yang gemuk, disiplin diet dan olahraga itu sangat utama, ” kata ayah 3 anak itu.

Pasien lain yang ditangani Philemon adalah Uripningsih. Ia datang dengan kondisi tekanan darah 170/100 mmHg, gula darah 273 mg/dl, dan bobot tubuh 81 kg dengan tinggi 155 cm. Uripningsing menderita obesitas. Mulai 3 Oktober 2005, ia mengkonsumsi VCO 3 kali sehari, masing-masing 1 sendok makan sebelum makan. Duapuluh dua hari kemudian, tekanan darahnya 140/90 mmHg dan bobot 78 kg. “Malah ada pasien lain yang turun bobot badan 5 kg selama 2 minggu setelah minum VCO,” ujarnya.

Apa rahasianya VCO menurunkan bobot tubuh? “VCO menyebabkan rasa kenyang sehingga nafsu makan berkurang. Sementara karena asam laurat memberikan energi cepat maka meski porsi makan berkurang atau malah tidak makan, seseorang tetap bertenaga, ” ujarnya.

Dokter spesialis penyakit dalam itu juga meresepkan VCO kepada penderita obesitas dengan diabetes, atau diabetes dengan keluhan neuropati – kelainan saraf seperti kesemutan, mata kabur, konstipasi, dan sakit ulu hati akibat gas menumpuk di ulu hati. Menurut Philemon VCO memperlancar percernaan. Di dalam tubuh, VCO cepat diubah menjadi energi sehingga memperbaiki fungsi metabolisme, terutama sel saraf dan pembuluh darah menjadi lebih baik.

Sembuh prostat

Keampuhan minyak perawan mengatasi prostat dan hepatitis persisten -virus hepatitis terus menetap -terbukti di Semarang. Pasien-pasien kedua penyakit itu memang diberi tambahan resep VCO oleh Prof Dr dr Susilo Wibowo yang menanganinya. Dokter spesialis andrologi itu beralasan memberikan tambahan VCO bagi mereka. Pada kasus hepatitis persisten, pasien bisa menghabiskan uang lebih dari Rp100-juta untuk menebus obat.

Di pasaran harga obat antivirus hepatitis seperti Interferon amat mahal, Rp1-juta hanya untuk sekali pakai. Celakanya, efektivitas membunuh virus cuma 30%. Di samping itu respon tubuh pasien setelah mengkonsumsi obat itu lemas, muntah, dan meriang. Sedangkan pada penanganan prostatitis kronis tingkat kegagalannya 40%; dulu, 10%. Sejak Agustus 2005 -Maret 2006, tercatat 50 pasien prostatitis kronis yang ditangani Susilo. Dari jumlah itu hanya 2 pasien yang belum sembuh, diduga tak konsisten mengkonsumsi VCO.

Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro itu menuturkan, efektivitas penyembuhan meningkat 90% bila daya tahan tubuh bagus. Selama ini VCO dikenal memperbaiki daya tahan tubuh. Susilo belum mengevaluasi pasien hepatitis persisten yang diberi VCO – jumlahnya 6 orang. “VCO mencegah kerusakan lever lebih lanjut dan melindungi organ hati, ” katanya.

Masih banyak dokter yang meresepkan VCO bagi para pasiennya. Sekadar menyebut beberapa adalah dr Tohir A El Kherid di Jakarta, dr Muhammad Ali Imron (Pare-Pare, Sulawesi Selatan), dan dr Otty Wijanarko (Banyumas, Jawa Tengah). Meski demikian banyak juga dokter yang menyarankan untuk menguji klinis sebelum VCO diresepkan. Dr Primal Sudjana SpPD dari RS Hasan Sadikin menuturkan, ”Selama ini belum ada uji klinis. Bahkan untuk hewan yang diinfeksikan virus sekalipun. Yang ada testimoni dari beberapa orang yang katanya bisa sembuh,” ujarnya.

Menurut dokter spesialis penyakit dalam alumnus Universitas Padjadjaran itu uji klinis itu harus membandingkan antara yang hanya memakai VCO, tanpa VCO, menggunakan campuran macam-macam obat, dan obat dokter. Mana yang lebih efektif? Pendapat serupa disampaikan oleh dr H Arijanto Jonosewojo SpPD dari RS dr Soetomo Surabaya.

Kepada Rosy Nur Apriyanti dari Trubus, Arijanto mengatakan, “Penelitian VCO memang banyak, tapi di luar negeri. Kita harus mempertanyakan, sesuatu yang dipakai di tempat lain, apakah cocok untuk kita?” Intinya, menurut kelahiran Surabaya 20 Agustus 1953, obat yang biasa dipakai oleh orang Eropa belum tentu cocok untuk masyarakat Indonesia.

Menurut dr H Hardhi Pranata SpS, VCO itu sudah dapat dikatakan sebagai obat, tetapi tidak memiliki kriteria sebagai obat. “Kalau suatu obat menurut definisi farmakologi yaitu suatu bahan kimia yang diberikan pada orang dengan dosis tertentu, waktu tertentu, pada orang tertentu, dan biasanya bila digunakan dalam jumlah banyak akan menimbulkan keracunan. Nah, ini tidak berlaku pada VCO (karena tidak menimbulkan keracunan, red).” Pro-kontra hal yang lumrah, termasuk pro-kontra dokter dalam meresepkan VCO bagi pasien. Sekarang, keputusan ada di tangan konsumen: mengkonsumsi atau menjauhi VCO. Yang harus diingat, konsekuensi selalu seiring sejalan dengan keputusan. Bukankah, minyak yang jauh lebih berbahaya karena mudah trans seperti minyak goreng, sehari-hari menjadi santapan masyarakat kita? Sementara VCO terbukti secara ilmiah aman bagi tubuh.

Sumber: trubus-online.com, 2006 – Sardi Duryatmo/Peliput: Evy Syariefa, Laksita Wijayanti, dan Vina Fitriani